Wednesday, July 29, 2020

Rusia Bikin 3 Robot Antariksa, Cuma 1 yang Akan Terbang


robot antariksa rusia

Rifanfinancindo - Rusia sedang memproduksi beberapa robot antariksa yang dirancang untuk beroperasi di stasiun luar angkasa internasional (International Space Station/ISS). Tapi hanya satu yang nantinya akan diterbangkan ke sana.

"Kami akan membuat dua atau tiga Teledroid. Robot finalnya akan dikirim ke luar angkasa," kata CEO Android Technics Scientific Evgeny Dudorov seperti dikutip dari Sputnik News.

"Sedangkan tiruannya, yang akan tinggal di Bumi dan robot lain yang masih merupakan variannya, tetap diperlukan untuk menyempurnakan teknologi," sambungnya.


Baca Juga :
Dudorov tidak memungkiri jika salah satu tiruan robot nantinya akan dihancurkan begitu saja setelah melalui beberapa tahapan pengujian.

Pada Februari lalu, Rusia melaporkan bahwa tahap desain konseptual dan teknik robot telah rampung. Robot ini dijadwalkan akan meluncur ke ISS tahun 2024.

Robot luar angkasa ini akan ditempatkan pada manipulator yang akan membawanya di antara modul-modul ISS. Proyek Teledroid ini bekerja menciptakan robot antropomorfik tanpa kaki untuk bekerja di permukaan ISS.

Sebelumnya, Rusia sudah mengirimkan sebuah robot humanoid bernama Fedor untuk misi selama 10 hari ke ISS. Misi tersebut telah rampung dijalankan dan Rusia mencapai kesimpulan bahwa robot tersebut tidak dapat menggantikan peran kosmonot (sebutan astronaut Rusia) dalam misi perjalanan luar angkasa sehingga tidak akan diterbangkan lagi ke sana.

"Tidak ada lagi yang perlu dilakukannya di sana, dia sudah menyelesaikan misinya," kata Dudorov saat menyambut Fedor kembali pulang ke Bumi pada 2019.

Fedor yang merupakan singkatan dari Final Object Demonstration Research awalnya dirancang untuk membantu para astronot di stasiun luar angkasa.

"Tetapi Fedor ternyata memiliki desain yang tidak bekerja dengan baik di luar angkasa. Memiliki tinggi 180 sentimeter, kaki panjangnya tidak berguna saat berjalan di luar angkasa," kata Dudorov.

Badan antariksa Rusia Roscocmos mengatakan, kaki-kaki robot itu tidak dapat bergerak selama perjalanan di luar angkasa dan Fedor tidak diprogram untuk bergerak dengan menggengam pegangan tangan di stasiun luar angkasa dalam kondisi gravitasi mikro.

Karenanya, Rusia terus mengembangkan robot antariksa lebih canggih lagi agar bisa menjalankan tugas-tugas luar angkasa yang tidak mampu dilakukan robot-robot sebelumnya. Rifanfinancindo.

Sumber : Detik

Tuesday, July 28, 2020

Ilmuwan Hidupkan Kembali Mikroba Berumur 100 Juta Tahun

Gambar yang diperbesar menunjukkan mikroba yang dihidupkan kembali dari sedimen berumur 101,5 juta tahun.
Rifan Financindo - Para ilmuwan berhasil menghidupkan kembali mikroba yang telah tertidur selama lebih dari 100 juta tahun.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah mengumpulkan sampel sedimen kuno dari bawah dasar laut untuk lebih memahami iklim masa lalu, lempeng tektonik, dan ekosistem laut dalam.

Para peneliti, yang dipimpin oleh Badan Geomikrobiologi Ilmu dan Teknologi Laut-Bumi Jepang Dr. Yuki Morono mengumpulkan Sampel sedimen purba selama ekspedisi ke South Pacific Gyre

Baca Juga :

Di atas kapal, JOIDES Resolution , Dr. Morono dan rekannya mengebor banyak sedimen core 100 m (328 kaki) di bawah dasar laut dan hampir 6 km (3,7 mil) di bawah permukaan laut.

Para ilmuwan menemukan bahwa oksigen ada di semua inti, menunjukkan bahwa jika sedimen terakumulasi secara perlahan di dasar laut dengan kecepatan tidak lebih dari 1-2 m (3,3-6,6 kaki) setiap juta tahun, oksigen akan menembus jauh-jauh dari dasar laut ke ruang bawah tanah.
Yuki Morono (kiri) dan Steven D'Hondt (paling kanan) di kapal bor penelitian Resolusi JOIDES dengan core sedimen yang dikumpulkan dari South Pacific Gyre. Foto: IODP JRSOYuki Morono (kiri) dan Steven D'Hondt (paling kanan) di kapal bor penelitian Resolusi JOIDES dengan core sedimen yang dikumpulkan dari South Pacific Gyre. Foto: IODP JRSO Foto: undefined

Kondisi seperti itu memungkinkan mikroorganisme aerob untuk bertahan hidup dalam skala waktu geologis jutaan tahun meski tidak memiliki nutrisi.

Para ilmuwan kemudian menginkubasi sampel mikroba hingga 557 hari dalam pengaturan laboratorium yang aman, menyediakan sumber karbon dan nitrogen 'makanan' seperti amonia, asetat, dan asam amino. Hasilnya alih-alih menjadi fosil sisa-sisa kehidupan, mikroba itu tumbuh, berlipat ganda, dan menampilkan beragam aktivitas metabolisme.

"Awalnya saya skeptis, tetapi kami menemukan bahwa hingga 99,1% dari mikroba dalam endapan yang disimpan 101,5 juta tahun lalu masih hidup," kata Dr. Morono dilansir dari Scitechdaily.

"Kami sekarang tahu bahwa tidak ada batasan umur untuk (organisme di) biosfer bawah laut". Rifan Financindo.

Sumber : Detik

Monday, July 27, 2020

Mungkinkah Kita Hidup di Bulan?

Ilustrasi Super Moon

PT Rifan Financindo - Gagasan membangun peradaban di Bulan telah lama menjadi imajinasi orang. Tapi bagaimana rasanya hidup di bulan?

Eksplorasi ruang angkasa pun juga lama berfokus pada Bulan. Sebuah pesawat ruang angkasa Soviet tahun 1959 memotret sisi jauh Bulan untuk pertama kalinya, dan pada tahun 1969, NASA mendaratkan orang-orang di permukaan bulan untuk pertama kalinya.

Banyak misi yang mengikuti, termasuk Lunar Reconnaissance Orbiter milik NASA yang menjadi rumah peta bulan topografi beresolusi tertinggi dengan mencakup 98,2 persen permukaan bulan.


Baca Juga :
Secara keseluruhan, data yang dikirim kembali dari berbagai misi menunjukkan bahwa hampir tidak ada tempat di Bulan yang potensial menjadi tempat untuk hidup.

Siang hari di Bulan berlangsung selama sekitar 14 hari Bumi dengan suhu rata-rata 253 derajat Fahrenheit atau 123 derajat Celsius, sementara malam Bulan juga berlangsung selama 14 hari Bumi (karena rotasi Bulan) dan mempertahankan suhu dingin sekitar -233 derajat Celsius.

"Tentang satu-satunya tempat kita dapat membangun pangkalan, anehnya, berada di dekat kutub bulan," kata Rick Elphic, ilmuwan proyek untuk penyelidikan LADEE NASA, yang mempelajari atmosfer Bulan.

Daerah-daerah ini kemungkinan menyimpan sejumlah besar air atau es dan tingkat cahaya rendah dari Matahari selama beberapa waktu. Suhunya sekitar 0 derajat Celsius, demikian melansir Space.

Hmm mungkin di masa mendatang, wisata atau hidup di Bulan bisa saja terwujud. Bagaimana menurut kalian, detikers? PT Rifan Financindo.

Sumber : Detik

Sunday, July 26, 2020

Kisah Charles Darwin, Enggan Jadi Dokter Lalu Temukan Teori Evolusi


Charles Darwin

Rifanfinancindo - Charles Robert Darwin merupakan seorang ilmuwan yang meneliti tentang sejarah alam. Dia lebih dikenal dengan nama Charles Darwin, mirip dengan nama pamannya yang wafat saat masih jadi mahasiswa kedokteran di Edinburgh University. Darwin pun sempat mengikuti jejak paman dan ayahnya Robert Waring Darwin kuliah kedokteran di universitas yang sama.

Namun rupanya Darwin lebih tertarik mempelajari soal sejarah flora dan fauna ketimbang anatomi serta fisiologi manusia. Dia kemudian menemukan teori evolusi yang menimbulkan kontroversi masa itu.

Kisah Hidup Charles Darwin

Bagi yang belum mengetahui kisah hidup Charles Darwin, berikut sejumlah faktanya:

1. Berasal dari keluarga kaya dan terpelajar
Charles Darwin dilahirkan di Shrewsbury, Inggris pada 12 Februari 1809. Dia anak kelima dari enam bersaudara. Lahir dari keluarga berada dan terpelajar. Kakek dari garis ibunya, Josiah Wedgewood seorang pengusaha tembikar yang anti perbudakan. Sementara kakek dari garis ayahnya, Erasmus Darwin adalah seorang dokter dengan pemikiran-pemikiran revolusioner yang melampaui masanya.

Baca Juga :

2. Batal jadi dokter, masuk sekolah teologi
Mengikuti jejak kakek dan ayahnya, Darwin belajar ilmu kedokteran di Edinburgh University dalam usia 16 tahun. Namun dia tak kuat melihat darah dalam praktik pembedahan. Ini membuat Charles Darwin berpikir kembali niatnya menjadi dokter.

Selama berada di Edinburgh University dia justru lebih tertarik mencari tahu soa proses kimiawi pendinginan bebatuan di zaman bumi purba, bagaimana cara mengklasifikasi flora, dan belajar tentang burung pada John Edmondstone.

Charles Darwin memutuskan keluar dari sekolah kedokteran. Ayahnya mendaftarkan dirinya untuk belajar teologi di Cambridge University pada 1827. Namun ketertarikannya pada biologi tak padam. Dia mengumpulkan berbagai macam jenis kumbang untuk diamati. Di Cambridge pula Darwin bertemu dengan seorang profesor botani John Stevens Henslow yang kemudian jadi mentornya.

3. Mengikuti perjalanan survei kapal HMS Beagle
Charles Darwin menyelesaikan sekolah teologinya pada 1831. Namun dia memutuskan tidak menjadi pendeta. Atas rekomendasi mentornya di Cambridge University dia mengikuti pelayaran keliling dunia kapal HMS Beagle milik Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Sebenarnya tujuan utama perjalanan ini adalah untuk mensurvei garis pantai Amerika Selatan dan memetakan pelabuhannya.

Darwin mengambil kesempatan saat kapal bersandar dengan mengumpulkan sampel tanaman, hewan, batu, dan fosil. Dia menjelajahi daerah di Brasil, Argentina, Cili, dan pulau-pulau terpencil seperti Galapagos. Dari semua tempat tersebut, Pulau Galapagos paling menyita perhatiannya. Semua spesimen yang didapatkan lalu dikirim ke Inggris dengan kapal lain.

Pada bagian terakhir dari perjalanan, Darwin menyelesaikan buku hariannya sepanjang 770 halaman dan 1.750 halaman catatan. Dia juga menyusun 12 katalog dari spesimen 5.436 kulit dan tulang belulang. Dia mendarat kembali ke Inggris pada Oktober 1836.

4. Charles Darwin mengeluarkan teori evolusi
Analisis Charles Darwin terhadap tumbuhan dan hewan yang dikumpulkan itu membawanya untuk mempertanyakan bagaimana spesies terbentuk dan berubah seiring waktu. Dia lalu mengembangkan teori revolusioner tentang asal usul makhluk hidup yang kontras dengan pandangan naturalis lainnya kala itu. Pada 1858, Darwin menerbitkan pemikirannya tentang evolusi dan seleksi alam dalam On the Origin of Species. Buku inilah yang sempat menjadi kontroversi sekaligus menjadi legendaris. Rifanfinancindo.

Sumber : Detik

Thursday, July 23, 2020

Virus Corona Sudah Bermutasi, Uji Vaksin di Indonesia Percuma?

Oxford University: Produksi Vaksin Corona Mungkin Bisa Dimulai Akhir Tahun Ini

Rifan Financindo - Indonesia, Brasil dan India menjadi tempat uji klinis fase 3 calon vaksin Corona. Eh tapi, virusnya kan sudah bermutasi.

Apakah uji klinis masih efektif dalam kondisi demikian? Untuk itu detikINET bertanya pada pakar bioteknologi dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Dr.rer.nat Wien Kusharyoto.

Menurut Wien, sejauh ini sudah ada 16 mutasi SARS-CoV-2. Namun selama akarnya adalah virus dari Wuhan, maka mutasi ini tetap akan kalah oleh vaksin.

Baca Juga :


"Saya tidak terlalu khawatir dengan strain yang berbeda. Karena mutasi ini sporadis dan tidak berpengaruh terhadap efektivitas vaksin," kata Wien kepada detikINET.

Wien optimistis uji klinis fase 3 akan memberikan dampak positif terhadap pengembangan vaksin Corona. Dia pribadi berpendapat, berdasarkan pengalaman uji vaksin pada penyakit lain, yang nanti harus diperhatikan para ilmuwan adalah efek samping yang ditimbulkan oleh calon vaksin.

"Vaccine induced disease enhancement, itu yang harus dievaluasi dari metode virus yang dilemahkan," kata dia.

Wien mencontohkan efek samping itu misalnya membuat orang dengan masalah penyakit tertentu ketika diberi vaksin malah jadi lebih parah. Namun bisa dimaklumi bahwa yang namanya uji klinis fase 3 tujuan utamanya adalah menyempurnakan calon vaksin Corona agar nantinya bisa diproduksi secara massal.

"Tahap 3 yang penting untuk mengetahui apakah ada efek samping yang muncul. Makanya lebih banyak sampel dan di kelompok umur berbeda, lokasi dan sosio ekonomi jadi pertimbangan," pungkasnya.

Vaksin Corona Sinovac rencananya akan uji klinis fase 3 di Indonesia dengan menggandeng Bio Farma. Indonesia dipilih karena laju infeksi masih tinggi, sehingga bisa untuk mengukur efektivitas dan manfaat calon vaksin yang diujikan. Selain itu, Indonesia juga punya kapasitas untuk nantinya memproduksi sendiri melalui Bio Farma. Rifan Financindo.

Sumber : detik

Wednesday, July 22, 2020

Data Satelit Perlihatkan Bagaimana COVID-19 Ubah Dunia

Planet Bumi

PT Rifan Financindo - Tiga badan antariksa dunia bekerja sama membuat peta interaktif berbasis data satelit yang menampilkan perubahan Bumi sebagai dampak pandemi COVID-19.

'COVID-19 Earth Observation Dashboard' dibuat oleh badan antariksa nasional AS NASA, badan antariksa nasional Eropa ESA, dan badan antariksa nasional Jepang JAXA.

Peta ini menganalisa perubahan yang terjadi dalam hal kualitas udara, air, pengukuran perubahan iklim, aktivitas eknonomi, dan pertanian.

Baca Juga :
Menggunakan data yang dikumpulkan dari berbagai satelit, map dashboard ini dirancang untuk mengeksplorasi bagaimana lingkungan dan kehidupan manusia sangat terpengaruh oleh pandemi COVID-19 dengan melihat segalanya mulai dari kualitas udara di Los Angeles hingga panen asparagus di Jerman.

"Bersama-sama NASA, ESA, dan JAXA mewakili aset manusia yang hebat: instrumen pengamat Bumi yang canggih di ruang angkasa ini digunakan setiap hari untuk memberi manfaat bagi masyarakat dan memajukan pengetahuan tentang planet kita," Thomas Zurbuchen, associate administrator NASA untuk sains, seperti dikutip dari IFL Science.

"Dari luar angkasa terlihat pola perubahan aktivitas manusia yang disebabkan pandemi memiliki dampak yang terlihat di planet ini. Kami tahu bahwa jika kami menggabungkan seluruh sumber daya yang ada, kami dapat menghadirkan alat analisis baru yang kuat untuk mendukung pergerakan krisis yang bergerak cepat ini," sambungnya.

Peningkatan kualitas udara di seluruh Bumi merupakan perubahan yang paling langsung terlihat sebagai dampak penerapan lockdown di berbagai negara.

Kota-kota besar di dunia termasuk Paris, Madrid, Roma, dan Milan semuanya memperlihatkan penurunan polusi udara signifikan dengan menurunnya sekitar 50% konsentrasi NO2 pada April lalu dibandingkan bulan yang sama di tahun-tahun sebelumnya.

Peta ini juga bisa digunakan untuk mendapatkan wawasan tentang penurunan aktivitas ekonomi global dari pandemi. Pengamatan satelit yang mencatat hasil pertanian, aktivitas di pelabuhan, jumlah mobil yang diparkir di pusat perbelanjaan, dan sebagainya, dapat dipakai sebagai indikator bagaimana industri tertentu telah terdampak parah oleh kebijakan lockdown. PT Rifan Financindo.

Sumber : Detik

Tuesday, July 21, 2020

Umur Alam Semesta Akhirnya Terungkap

Pemandangan Spektakuler Alam Semesta

Rifanfinancindo - Studi terbaru yang dilakukan tim peneliti internasional meyakini bahwa mereka telah mendapatkan pengukuran yang akurat mengenai usia alam semesta. Mereka melakukan ini dengan melihat foto 'bayi' kosmik.

Dalam studi ini, tim peneliti yang termasuk ilmuwan dari 41 lembaga di tujuh negara, mengandalkan pengamatan oleh Teleskop Kosmologi Atacama (Atacama Cosmology Telescope/ACT) di Chili.

Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Cosmology and Nongalactic Astrophysics ini, mengonfirmasi bahwa alam semesta berasal dari 13,8 miliar tahun lalu, berdasarkan serpihan-serpihan cahaya yang tersisa dari peristiwa Big Bang.

Baca Juga :

Untuk memperkirakan berapa umur alam semesta, para peneliti melihat kembali ketika semuanya dimulai. Mereka mengukur cahaya tertua yang dipancarkan oleh kosmos untuk mendapatkan citra terbaik dari foto 'bayi' semesta.

"Kami memugar kembali 'foto bayi' alam semesta ke kondisi aslinya, menghilangkan keausan waktu dan ruang yang mendistorsi gambar," kata salah satu peneliti Neelima Sehgal, professor dari Stony Brook University's Physics and Astronomy Department seperti dikutip dari Inverse.

"Hanya dengan melihat foto bayi yang lebih tajam ini atau gambar alam semesta, kita dapat lebih memahami bagaimana alam semesta kita dilahirkan," sambungnya.

Para peneliti mengandalkan latar belakang gelombang mikro kosmik, atau radiasi elektromagnetik yang telah ditinggalkan sejak tahun-tahun awal alam semesta, untuk menciptakan citra baru alam semesta ini saat masih bayi.

Cahaya yang dipancarkan 380.000 tahun setelah terjadinya Big Bang bervariasi dalam polarisasi, diwakili oleh warna merah atau biru. Tim peneliti menggunakan jarak antara variasi-variasi ini untuk menghitung estimasi baru untuk usia alam semesta.

Perkiraan umur alam semesta sebelumnya bergantung pada Wilkinson Microwave Anisotropy Probe (WMAP) NASA dan Teleskop Ruang Angkasa Planck Badan Antariksa Eropa (ESA) milik NASA.

Pada 2013, teleskop Planck ESA memperkirakan bahwa alam semesta berusia 13,82 miliar tahun berdasarkan peta paling detail yang pernah dibuat dari latar belakang gelombang mikro kosmik. Sementara itu, WMAP diluncurkan pada tahun 2001 untuk mengukur perbedaan suhu di langit dengan latar belakang gelombang mikro kosmik.

Pada 2016, NASA mengumumkan bahwa alam semesta berusia 13,77 miliar tahun menurut data dari WMAP. Namun, di tahun 2019, sebuah penelitian menunjukkan bahwa alam semesta sebenarnya mungkin 2 miliar tahun lebih muda dari yang diyakini sebelumnya.

Studi itu menggunakan pergerakan bintang-bintang untuk memperkirakan laju ekspansi kosmos dan menunjukkan bahwa alam semesta sebenarnya telah berkembang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya, dan karenanya, mencapai ukurannya saat ini dengan kecepatan yang lebih cepat.

"Sekarang kita telah menemukan jawaban di mana Planck dan ACT sepakat," kata penulis utama studi ini Simone Aiola dari Center for Computational Astrophysics Institute di New York City.

"Studi ini berbicara fakta bahwa pengukuran yang sulit tentang alam semesta ini dapat diandalkan," tutupnya. Rifanfinancindo.


Sumber : Detik

Monday, July 20, 2020

Waduh, Ada Bakteri Pemakan Logam!

bakteri pemakan logam

Rifan Financindo - Ilmuwan menemukan tipe bakteri yang memakan dan mendapatkan energinya dari logam. Menariknya, penemuan bakteri ini dilakukan secara tidak sengaja.

Bakteri aneh ini diduga telah eksis selama ratusan tahun, tapi keberadaannya tidak pernah dibuktikan oleh ilmuwan. Lalu ahli mikrobiologi dari California Institute of Technology (Caltech) secara tidak sengaja menemukan bakteri ini setelah melakukan penelitian tidak terkait yang melibatkan logam mangan.

Dikutip detikINET dari CNN, Senin (20/7/2020) dosen mikrobiologi lingkungan di Caltech, Jared Leadbetter mengatakan ia meninggalkan botol kaca yang diselimuti material logam tersebut dalam kondisi terendam air di wastafel.

Baca Juga :
Ia meninggalkan botol tersebut selama beberapa bulan karena harus bekerja di luar kampus. Begitu ia kembali, Leadbetter menemukan botol tersebut dilapisi dengan material berwarna hitam.

"Saya berpikir, apa itu?" kata Leadbetter dalam keterangan resmi.

"Saya mulai berpikir apakah mikroba yang telah lama dicari mungkin bertanggung jawab, jadi kami melakukan beberapa tes secara sistematik untuk mencari tahu," sambungnya.

Peneliti menemukan lapisan berwarna hitam di botol tersebut rupanya mangan yang mengalami oksidasi yang muncul akibat bakteri yang mungkin ditemukan di air keran.

"Ada bukti bahwa saudara makhluk ini hidup di air tanah, dan sebagian air minum di Pasadena dipompa dari akuifer lokal," jelas Leadbetter.

Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan di jurnal Nature. Peneliti berargumen bahwa ini merupakan bakteri pertama yang memanfaatkan mangan sebagai sumber energi.

Ilmuwan juga memperkirakan bahwa mikroba yang belum diidentifikasi ini bisa memanfaatkan mangan lewat proses yang disebut chemosynthesis, yang bisa mengubah karbon dioksida menjadi biomassa.

"Ini adalah bakteri pertama yang ditemukan menggunakan mangan sebagai sumber energi. Aspek menarik mikroba di alam adalah mereka bisa memetabolisme material yang tampaknya tidak mungkin, seperti logam, yang menghasilkan energi yang berguna bagi sel," sambungnya.

Temuan ini dipercaya ilmuwan bisa membantu mereka lebih memahami air tanah dan sistem air yang bisa tersumbat oleh mangan yang teroksidasi.

Ilmuwan juga percaya temuan bakteri ini bisa membantu mereka memahami nodul mangan, atau bola logam yang ukurannya bisa sebesar jeruk dan sering ditemukan di dasar laut. Bola-bola ini telah ditemukan sejak tahun 1870-an tapi belum diketahui bagaimana proses pembentukan objek misterius ini. Rifan Financindo.

Sumber : Detik

Sunday, July 19, 2020

Lapan Sebut Komet Neowise Punya Dua Ekor, Kok Bisa?

Komet Neowise

PT Rifan Financindo - Tidak hanya bisa dinikmati sekali seumur hidup, komet Neowise juga punya sisi menarik lainnya, yaitu punya dua ekor. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memberikan penjelasan mengapa bisa komet Neowise punya dua ekor.

Seperti diketahui, terhitung mulai tanggal 19 Juli 2020, masyarakat Indonesia berkesempatan untuk menyaksikan fenomena alam super langka ini. Benda antariksa termasuk langka, karena komet Neowise butuh 6.800 tahun lagi bila bereda di titik terdekat dengan Bumi.

Agustinus Gunawan Admiranto dari Pusat Sains Antariksa Lapan mengungkapkan, selama beberapa waktu komet ini hanya bisa diamati dari belahan Bumi utara, tetapi mulai tanggal 19 Juli 2020 bisa dilihat dari belahan Bumi selatan, tepatnya pada sore hari.

Baca Juga :

Dikarenakan komet Neowise cukup terang, Gunawan menyebutkan kalau benda tersebut dapat dilihat dengan menggunakan mata telanjang.

"Komet Neowise ini menjadi komet yang sangat terang pada awal Juli dan memunculkan dua ekor, yaitu ekor debu dan ekor ion," jelasnya seperti dikutip di situs Lapan.

Terkait komet Neowise punya dua ekor, Gunawan menjelaskan, ketika komet ini bergerak mendekati Matahari, tumbuhlah ekor yang semakin bertambah panjang dengan semakin dekatnya komet tersebut ke sang Surya.

"Ekor komet ini muncul karena bahan-bahan yang ada di bagian yang menyelubungi inti (bagian coma) menguap akibat hembusan angin surya (partikel-partikel yang dipancarkan oleh Matahari)," tuturnya.

"Arah ekor komet selalu menjauhi arah Matahari dan segaris dengan arah Matahari. Anda dapat membayangkan arah ekor komet seperti bayangan suatu benda yang muncul bila benda itu bergerak mengitari sebuah lampu," kata Gunawan.

Disebutkan bahwa ekor dari komet ini bisa mencapai panjang sekitar 150 juta kilometer, sehingga tak ayal apabila benda antariksa satu ini menjadi yang terbesar yang ada di Tata Surya ini.

Kendati punya ekor panjang, Gunawan mengungkapkan, kerapatan komet sangat kecil, jauh lebih kecil daripada kerapatan partikel dalam ruang hampa terbaik yang bisa dimuat di dalam laboratorium di Bumi.

"Ekor debu pada sebuah komet muncul akibat pergerakan komet itu sendiri, sedangkan ekor ion muncul akibat semburan partikel yang datang dari Matahari. Ekor debu biasnya berwarana putih, sedangkan ekor ion berwarna biru," ucapnya.

"Panjang ekor ion ini berubah-ubah tergantung jarak komet tersebut dari Matahari. Semakin dekat jarak komet dengan Matahari, semakin dekat panjang ekor ion ini, karena partikel energi tinggi yang jatuh padanya semakin deras," pungkas Gunawan. PT Rifan Financindo.


Sumber : Detik

Thursday, July 16, 2020

Waktu dan Lokasi Terbaik Lihat Komet Neowise di Indonesia

Sepanjang bula Juli, Komet Neowise yang melintasi tata surya bagian dalam dapat dilihat dengan mata telanjang dari bumi. Begini penampakannya.

Rifanfinancindo - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memaparkan waktu dan lokasi pengamatan terbaik bila masyarakat ingin menyaksikan Komet Neowise melintas di Indonesia.

Peneliti Pusat Sains Antariksa Lapan Rhorom Priyatikanto mengatakan, pada dasarnya pengamatan terhadap Neowise masih bisa dilakukan seterusnya. Akan tetapi, ada momen yang pas untuk melihat fenomena alam super langka ini.

"Sampai seterusnya masih bisa. Hanya makin redup, sehingga perlu (alat-red) tele yang lebih besar," ujarnya, Jumat (17/7/2020).

Baca Juga :

Disebutkan bahwa waktu yang tepat dalam melihat bagaimana Komet Neowise tersebut menghiasi langit di Indonesia pada tanggal 20 Juli sampai 4 Agustus. Adapun, lokasi yang terbaik bisa disaksikan di Jakarta, Bandung, Tanjungsari, Pameungpeuk, Watukosek, Pontianak, Kototabang, Tomohon, Pare-Pare, Tilong, dan Biak.

Untuk mengetahui secara detail waktu dan lokasi-lokasi di atas ketika mengamati Neowise melintas di Indonesia, bisa kunjungi ke situs Lapan ini.

Dari sejumlah waktu yang telah dipaparkan di atas, Lapan menyebutkan ada tanggal yang oke dalam menyaksikan komet dengan nama lain C/2020 F3 ini, yaitu pada 23 Juli 220 pukul 02.41.30 universal time atau 09.41.30 WIB, di mana saat itu Neowise berada di posisi terdekat dengan Bumi.

Sedangkan, pada 3 Juli lalu pada pukul 16.20.06 Universal Time atau 23.20.06 WIB, Neowise ada di titik terdekat dengan Matahari dengan jarak 44,1 juta kilometer. Sedangkan, dengan Bumi berjarak sekitar 172,64 juta kilometer.

Diketahui, Komet Neowise ini adalah komet retorgade yang dipotret oleh teleskop antariksa Near Earth Object Wide-field Infrared Survey Explorer (NEOWISE) milik Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Benda antariksa itu pertama kali terdeteksi pada 27 Maret 2020.

Hal yang istimewa dari komet satu ini melintasi Tata Surya bagian dalam untuk pertama kalinya dalam 6.800 tahun. Itu artinya, kalian hanya bisa menyaksikan benda antariksa tersebut sekali dalam seumur hidup. Rifanfinancindo.


Sumber : Detik

Wednesday, July 15, 2020

Medan Magnet Bumi Berubah Arah 10 Kali Lebih Cepat!

IN SPACE - In this handout provided by the National Aeronautics and Space Administration, Earth as seen from a distance of one million miles by a NASA scientific camera aboard the Deep Space Climate Observatory spacecraft on July 6, 2015. (Photo by NASA via Getty Images)

Rifan Financindo - Ilmuwan menduga bawa medan magnet dinamis planet Bumi berubah arah 10 kali lipat jauh lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.

Gelembung medan magnet sendiri adalah yang menahan atmosfer di tempat dan melindungi manusia dari radiasi kosmik berbahaya dan angin matahari. Namun setiap dalam waktu setiap juta tahun, polaritas medan magnet berbalik sehingga membuat Kutub Utara dan Kutub Selatan bertukar tempat.

Terakhir kali perubahan medan magnet ini terjadi sekitar 780 ribu tahun yang lalu dan proses sebelumnya diperkirakan memakan waktu ribuan tahun, bergeser pada tingkat sekitar satu derajat per tahun.

Baca Juga :

Namun sebuah penelitian dalam studi baru mengungkapkan, ada perubahan dramatis lainnya dalam arah medan magnet dapat terjadi 10 kali lebih cepat dan hampir 100 kali lebih cepat dari perubahan yang baru diamati.

Tumpukan besi cair di inti luar planet yang berputar lebih dari 1.700 mil (2.800 kilometer) di bawah permukaan memberi kekuatan pada medan magnet Bumi yang tak terlihat.

Magma konduktif yang bergolak menciptakan muatan listrik yang menentukan posisi kutub magnet dan membentuk garis medan magnet tak kasat mata dan menghubungkan kutub.

"Interaksi antara inti Bumi dan medan magnet sangat kompleks. Intensitas magnet dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan di lokasi yang berbeda di inti dan di permukaan Bumi," kata penulis studi utama, Christopher Davies, seorang profesor di School of Earth and Environment di University of Leeds di Inggris yang dilansir detiKINET dari Live Science.

"Dalam inti cair, aliran memutar dan meregangkan medan magnet yang pada gilirannya mendorong kembali pada aliran, menahan distorsi yang dialami, alirannya bergolak dalam arti sederhana bisa seperti aliran dalam panci air yang mendidih," jelasnya.

Jadi interaksi antara aliran dan medan berbeda dari satu tempat ke tempat lain di dalam inti. Dengan kata lain, ketika inti cair mendidih, gerakan tersebut akan menciptakan naik turunnya gaya magnet di berbagai bagian inti yang pada gilirannya membentuk bagaimana daerah-daerah itu mempengaruhi magnetosfer.

Beberapa variasi dalam interaksi ini terlihat oleh para ilmuwan saat ini, seperti bercak magnet yang kuat di lintang tinggi, fitur medan magnet yang melayang ke timur atau barat, dan titik lemah lama di bidang antara Afrika dan Amerika Selatan, yang dikenal sebagai Anomali Atlantik Selatan.

Berabad-abad yang lalu, notasi pelaut dalam log navigasi kapal mencatat perubahan dalam medan magnet, dalam beberapa dekade terakhir, satelit dan observatorium menangkap perubahan seperti itu.

Faktanya, pengamatan baru-baru ini menunjukkan bahwa kekuatan medan magnet telah menyusut selama 160 tahun terakhir, menunjukkan bahwa Bumi mungkin jatuh karena lempeng magnet lebih cepat daripada nanti, Live Science sebelumnya melaporkan.

Tetapi melacak perubahan di masa lalu yang sangat jauh jauh lebih menantang, kata Davies.

"Kami tahu tentang pembalikan polaritas, tetapi masih banyak yang bisa ditemukan tentang apa yang dilakukan lapangan selama ribuan tahun hingga jutaan tahun," katanya.

"Dalam pekerjaan kami, kami mengajukan pertanyaan: Seberapa cepat bidang dapat mengubah arah pada rentang waktu ini?"

Untuk menjawab pertanyaan itu, Davies dan rekan penulis studi Catherine Constable, seorang profesor di Scripps Institution of Oceanography di San Diego, menggunakan model baru medan magnet yang berasal dari kumpulan besar pengamatan medan magnet dari 100.000 tahun terakhir. Perubahan medan magnet muncul dalam sedimen laut, aliran lahar dingin, dan bahkan struktur buatan manusia dan artefak, kata Davies.

"Namun, seperti semua model yang berasal dari pengamatan di permukaan Bumi, itu hanya bisa menunjukkan kita bidang ke atas inti; kita tidak bisa 'melihat' di dalam inti Karena itu kami menggabungkan hasil ini dengan simulasi komputer dari fisika generasi medan magnet yang berasal dari gerakan inti." jelasnya

Davies dan Constable menemukan bahwa medan magnet dapat mengubah arah sebanyak 10 derajat per tahun di zona-zona di mana medan itu melemah - laju ini sekitar 10 kali lebih cepat daripada model-model sebelumnya yang disarankan, dan sekitar 100 kali lebih cepat daripada perubahan yang terlihat dalam pengamatan modern. .

Ketika daerah inti leleh berbalik arah, arah medan magnet akan berubah tajam, simulasi menunjukkan. Pembalikan inti ini lebih umum terjadi di tempat-tempat yang dekat dengan garis khatulistiwa yang sejalan dengan pengamatan para peneliti tentang perubahan arah yang cepat pada lintang rendah.

Bukti baru ini bahwa lintang rendah mengalami perubahan tercepat menunjukkan para ilmuwan harus mengarahkan perhatian mereka di sana di masa depan, para penulis menulis dalam penelitian ini. Rifan Financindo.

Sumber : Detik

Tuesday, July 14, 2020

Makhluk Ini Mirip Alien E.T! Ditemukan di Dasar Laut Kuno

Tampilan alien dalam film E.T.: The Extra-Terrestrial.

PT Rifan Financindo - Sebuah makhluk berbentuk aneh mirip alien di film E.T. ditemukan di dasar laut kuno Pasifik timur. Makhluk ini telah diklasifikasikan sebagai spesies dan genus baru oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Si 'Alien' ini ditemukan berada sejauh 7.875 kaki di bawah permukaan laut dan kelihatannya tumbuh dari bebatuan dasar laut menurut penjelasan NOAA.

"Tumbuh tinggi di atas tangkai, spons ini memiliki tubuh dengan dua lubang besar yang anehnya mengingatkan pada mata besar alien dari film tercinta,'E.T.: The Extra-Terrestrial'," tulis NOAA dalam rilisnya.
Baca Juga :

Penampakan spons gelas yang dilaporkan pertama kali sebenarnya terjadi di tahun 2016, dan penghargaan untuk penemuan tersebut ditujukan kepada Cristiana Castello Branco, seorang peneliti yang menganalisis kerangka spesimen dan menyadari bahwa belum dikenal dalam sains.

Dia secara resmi menamakannya Advhena magnifica, tetapi semua orang menyebutnya 'E.T. spons', demikian dikutip dari Columbian.

Tampilan spons gelas yang mirip alien di film 'E.T.: The Extra-Terrestrial'.Tampilan spons gelas yang mirip alien di film 'E.T.: The Extra-Terrestrial'. Foto: NOAA

Tampilan spons gelas yang mirip alien di film 'E.T.: The Extra-Terrestrial'.

"Kami biasanya mencoba mengaitkan nama dengan sesuatu yang unik tentang spesies itu, atau kami dapat menghormati seseorang, nama ekspedisi, atau lokalitas," kata Branco dalam rilisnya.

Branco mengatakan bentuk spons ini memang mengingatkan pada alien, seperti di film-film. Ada tampilan seperti leher tipis panjang, kepala memanjang dan mata besar.

Advhena, nama yang ia berikan pada spons gelas itu sendiri berasal dari bahasa Latin advena yang berarti alien. Ia juga tidak keberatan jika temuannya disebut E.T. spons.

Spons gelas adalah hewan yang biasanya menempel pada permukaan keras. Mereka menyukai bakteri kecil dan plankton, menurut penjelasan NOAA. PT Rifan Financindo.

Sumber : Detik